Selasa, 26 Mei 2015

Dampak Globalisasi Ekonomi pada Demokrasi Negara

Dampak Globalisasi Ekonomi pada Demokrasi Negara

(Studi Kritis Ekonomi Politik)

Oleh : Akmal Junmiadi, SE
(Peneliti Muda CIDES Indonesia, Alumni S1 Manajemen Fakultas Ekonomi UNJ 2008, Konsentrasi: International Marketing Management).

Saat ini globalisasi telah menjadi wacana sekaligus fakta yang tidak lagi dapat terbendung. Hampir diseluruh bangsa dan negara didunia telah menyadari efek dari globalisasi yang telah banyak membawa perubahan. Khususnya perubahan ekonomi dan politik dalam pemerintahan di negara-negara tersebut. Dengan ditandainya perdagangan bebas antar negara dan hilangnya sekat-sekat kenegaraan maka suatu negara dibelahan bumi manapun akan mengakui perubahan pembangunan negaranya akan memiliki kaitan erat dengan kondisi pembangunan di negara lainnya.

Namun dibalik itu semua, ternyata globalisasi juga memiliki agenda ekonomi politik yang juga membahayakan kesejahteraan dan eksistensi negara itu sendiri. Setidaknya dengan perubahan yang dibawa oleh globalisasi khususnya dibidang ekonomi dan pembangunan negara telah memiliki paradigma yang bergeser dari peran pemerintah menjadi kearah pasar. Hal ini telah dikemukakan oleh para ekonom dunia yang mengkritik globalisasi ekonomi pada negara.

Perubahan dari paradigma pembangunan yang didorong oleh pemerintah (government led) menjadi pembangunan yang didorong oleh pasar (market lead) menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari negara ke perusahaan multinasional (Multinational Corporation), dan dari sistem politik ke sistem ekonomi (Spillane, 2003:178). Akibatnya, kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi yang bersifat antar negara (Intergovernmental)diambil alih oleh negara-negara industri maju dan oleh institusi-institusi yang mereka kontrol.

Tiga oligarki  globalisasi adalah IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), dan WTO (World Trade Organization). Ketiga institusi ini berperan penting dalam membentuk sistem ekonomi internasional yang menyokong globalisasi pasar terbuka (free market). Dalam hal ini perlu dicermati bahwa di belakang tiap keputusan IMF, Bank Dunia, dan WTO ada “Pasukan kapitalis” berbentuk multinational corporation (MNCs) yang siap mengambil keuntungan. Jika perlu, negara juga ikut membantu dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan multinasional dari negera masing-masing. Sebagaimana yang ditulis Edward Luttwak dalam Turbo Capitalism (1997). “Pada 20-30 tahun yang lalu negara terlibat dalam geo-politics, sekarang geo-economics, dimana negara terlibat dalam perang bisnis dengan mengerahkan “pasukan” mereka yang terdiri dari pelaku bisnis internasional.

Pelaku bisnis internasional yang menjadi “pasukan kapitalis” dalam melakukan operasi bisnisnya seringkali melakukan praktek suap-menyuap terhadap para elit atau pejabat pemerintahan di negara yang menjadi target pasar mereka. Agar kemudian mereka dapat dengan mudah melakukan kepentingannya untuk menguasai perekonomian vital (konstruksi umum, pertahanan, migas, real estate, tambang, public service, dll) walaupun harus merugikan negara-negara yang menjadi objek market khususnya negara-negara berkembang. Pada pertengahan tahun 2002, majalah Gatra (9 Juni 2002) dan Newsweek(1 Juli 2002) dalam waktu bersamaan menurunkan laporan panjang tentang praktik suap-menyuap oleh pelaku bisnis internasional dengan mengutip laporan Transparency Institute. Dalam laporan tersebut, di ungkapkan pengusaha dari Rusia, Cina, Taiwan, dan Korea Selatan menduduki peringkat tertinggi dalam suap menyuap. Amerika Serikat yang memilikiForeign Corrupt Practice Act, yang melarang perusahaan-perusahaan Amerika Serikat memberi suap, ternyata tidak bebas dari suap-menyuap. Ranking Amerika Serikat dalam Bribe Payers Index tahun 2002 sejajar dengan Jepang, tetapi lebih buruk dari negara-negara Prancis, Spanyol, Jerman, Singapura, dan Inggris.

Akibat dari kecenderungan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis internasional tersebut maka sudah dipastikan kedaulatan negara dibidang ekonomi dan politik menghilang. Sebagai konsekuensinya kekuasaan politik negara semakin menurun dan kekuasaan ekonomi perusahaan multinasional semakin meningkat. Bahkan sebagai dampak pasarisasi, banyak negara kehilangan kendali untuk membuat undang-undang yang pro terhadap kepentingan rakyatnya sendiri demi memuaskan kepentingan “pasukan kapitalis”.

Sehubungan dengan dampak globalisasi ekonomi pada negara, setidaknya ada dua hipotesa yang dikemukakan, yaitu:
-          Hipotesis 1, yang disebut “Hipotesis Dramatis” oleh Kenichi Ohmae, ialah globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan, dan
-          Hipotesis 2, yang disebut “Silent Take-over and Death of Democracy” oleh Noreena Hertz, ialah globalisasi ekonomi akan mengakibatkan matinya demokrasi.

Dari fakta yang terjadi saat ini nampaknya hipotesis 1 yang mengatakan globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan tidaklah terjadi karena tidak sesui dengan kenyataan. Namun yang lebih mendekati kenyataan adalah hipotesis 2 yang dikembangkan Noreena Hertz. Dikaitkan dengan konteks demokrasi dalam memilih pemimpin negara saat ini memang secara pemilihan mereka dipilih oleh rakyat, tetapi para pemimpin tersebut sejatinya lebih sibuk melayani para pelaku bisnis global. Dan lebih tragisnya dalam melayani pelaku bisnis global tersebut para pemimpin harus bersaing, sebab calon investor hanya akan memilih negara dan daerah yang mampu memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan (minimalis resiko). Oleh karena itu pemimpin bukannya mengabdi kepada rakyat yang menjadi konstituennya dalam pemilu, tetapi justru kepada para kapitalis global. Perilaku pemimpin elit dan pejabat tak ubahnya sebagai makelar  atau salesman (Deliarnov, 2010:209).

Mereka “menjajakan” negaranya dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan (dalam bentuk devisa bebas, pajak rendah, dan upah buruh termurah). Dalam proses “menjajakan” negara praktek suap-menyuap sangat kental. Artinya kebijakan negara disusun atas dasar perjanjian dengan kapitalis tertentu. Perilaku pemimpin elit seperti inilah yang akhirnya menyebabkan demokrasi menjadi mati.!

Globalisasi tidak hanya menentukan arah demokrasi, lebih jauh, globalisasi bahkan juga mampu mendikte apa yang harus dilakukan oleh para pemenang pemilu demokrasi. Siapa saja yang menjadi presiden dalam pemilihan yang demokratis memang ditentukan oleh rakyat. Namun, siapa saja yang akan duduk dalam kabinet dan apa yang kemudian dijalankan oleh kabinet tersebut lebih ditentukan oleh konstituen pasar yang notebene tersebar di sejumlah sentra finansial global. Sebagai contoh kasus rezim Soeharto pada tahun 1997 yang menghadapi tekanan pasar finansial oleh Amerika serikat melalui IMF dengan mengutus Walter Mondale membujuk Soeharto untuk sepenuhnya melakukan liberalisasi ekonomi melalui penandatanganan perjanjian LoI (Letters of Intent) sesuai tuntutan IMF yang merujuk kepada consensuss of washington antara lain meliputi pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, dan pelaksanaan privatisasi BUMN.

Sehubungan dengan kaitan antara globalisasi ekonomi dan demokrasi ini, George Soros dalam The Crisis of Global Capitalism (1998). Menjelaskan bahwa ada satu anggapan yang keliru namun telah diterima secara  umum selama ini bahwa demokrasi dan kapitalisme berjalan seiring sejalan. Dalam realitas, hubungan antara demokrasi dengan kapitalisme tersebut sangat kompleks. Menurut Soros, kapitalisme membutuhkan demokrasi sebagai pengimbang karena sistem kapitalisme tidak memiliki kecenderungan untuk mencapai keseimbangan. yang jelas, para pemilik kapital selalu berusaha memaksimumkan keuntungan mereka. Bila upaya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tersebut dibiarkan lepas tanpa kendali, tentulah mereka akan berupaya untuk mengakumulasikan modal sampai pada suatu tingkatan ketidakseimbangan.

Dengan globalisasi, tidak ada sekat-sekat lagi bagi aliran barang, jasa, modal dan juga tenaga kerja dari satu negara kenegara lain. Akan tetapi, melihat berbagai kecenderungan yang ada, Thurow (2000) memperingatkan: “.... the world is going to have a global economy without global government. This means a global economy with no enforceable, agreed-upon set of rules and regulations, no sheriff to appeal to if one feels that justice is not being done...”. Apa artinya jika dunia memiliki suatu perekonomian global tanpa pemerintahan global.? Arti berikut implikasinya ialah akan ada suatu perekonomian global tanpa aturan dan hukum yang telah disepakati bersama yang dapat ditegakkan. Selain itu juga tidak ada semacam lembaga penegak hukum internasional yang dapat dimintai bantuannya apabila ada pihak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil.


Menurut Stigliz (2001), yang ada justru sebuah sistem yang disebutnya ‘global governance without global government’. Dimana sejumlah intitusi internasional (IMF, Bank Dunia, dan WTO) disertai sejumlah pemain (menteri keuangan, bisnis, dan perdagangan) yang terkait erat dengan kepentingan finansial lebih mendominasi keadaan. Sementara rakyat yang menerima dampak dari kebijakan-kebijakan globalisasi itu sendiri tidak bisa bersuara lantang. Karena kenyataan menunjukkan bahwa hasil yang diberikan oleh globalisasi jauh dari yang digembar-gemborkan, Stigliz menyerukan bahwa sudah tiba saatnya untuk mengubah beberapa aturan tata ekonomi internasional agar kepentingan negara-negara berkembang lebih terwakili. (Sumber: Deliarnov, Ekonomi Politik 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar