Dampak Globalisasi Ekonomi
pada Demokrasi Negara
(Studi Kritis Ekonomi Politik)
Oleh : Akmal Junmiadi, SE
(Peneliti Muda CIDES Indonesia, Alumni
S1 Manajemen Fakultas Ekonomi UNJ 2008, Konsentrasi: International
Marketing Management).
Saat ini globalisasi telah menjadi wacana sekaligus fakta yang
tidak lagi dapat terbendung. Hampir diseluruh bangsa dan negara didunia telah
menyadari efek dari globalisasi yang telah banyak membawa perubahan. Khususnya
perubahan ekonomi dan politik dalam pemerintahan di negara-negara tersebut.
Dengan ditandainya perdagangan bebas antar negara dan hilangnya sekat-sekat
kenegaraan maka suatu negara dibelahan bumi manapun akan mengakui perubahan
pembangunan negaranya akan memiliki kaitan erat dengan kondisi pembangunan di
negara lainnya.
Namun dibalik itu semua, ternyata globalisasi juga memiliki
agenda ekonomi politik yang juga membahayakan kesejahteraan dan eksistensi
negara itu sendiri. Setidaknya dengan perubahan yang dibawa oleh globalisasi
khususnya dibidang ekonomi dan pembangunan negara telah memiliki paradigma yang
bergeser dari peran pemerintah menjadi kearah pasar. Hal ini telah dikemukakan
oleh para ekonom dunia yang mengkritik globalisasi ekonomi pada negara.
Perubahan dari paradigma pembangunan yang didorong oleh
pemerintah (government led) menjadi pembangunan yang
didorong oleh pasar (market lead) menyebabkan terjadinya
pergeseran kekuasaan dari negara ke perusahaan multinasional (Multinational Corporation), dan dari sistem politik ke
sistem ekonomi (Spillane, 2003:178). Akibatnya, kebijakan-kebijakan di bidang
ekonomi yang bersifat antar negara (Intergovernmental)diambil
alih oleh negara-negara industri maju dan oleh institusi-institusi yang mereka
kontrol.
Tiga oligarki globalisasi adalah IMF (International
Monetary Fund), Bank
Dunia (World Bank), dan WTO (World
Trade Organization). Ketiga
institusi ini berperan penting dalam membentuk sistem ekonomi internasional
yang menyokong globalisasi pasar terbuka (free
market). Dalam
hal ini perlu dicermati bahwa di belakang tiap keputusan IMF, Bank Dunia, dan
WTO ada “Pasukan kapitalis” berbentuk multinational corporation (MNCs) yang siap mengambil
keuntungan. Jika perlu, negara juga ikut membantu dan memfasilitasi
perusahaan-perusahaan multinasional dari negera masing-masing. Sebagaimana yang
ditulis Edward Luttwak dalam Turbo Capitalism (1997). “Pada 20-30 tahun yang
lalu negara terlibat dalam geo-politics, sekarang geo-economics, dimana negara terlibat dalam
perang bisnis dengan mengerahkan “pasukan” mereka yang terdiri dari pelaku
bisnis internasional.
Pelaku bisnis internasional yang menjadi “pasukan kapitalis”
dalam melakukan operasi bisnisnya seringkali melakukan praktek suap-menyuap
terhadap para elit atau pejabat pemerintahan di negara yang menjadi target
pasar mereka. Agar kemudian mereka dapat dengan mudah melakukan kepentingannya
untuk menguasai perekonomian vital (konstruksi umum, pertahanan, migas, real
estate, tambang, public
service, dll)
walaupun harus merugikan negara-negara yang menjadi objek market khususnya
negara-negara berkembang. Pada pertengahan tahun 2002, majalah Gatra (9 Juni
2002) dan Newsweek(1 Juli 2002)
dalam waktu bersamaan menurunkan laporan panjang tentang praktik suap-menyuap
oleh pelaku bisnis internasional dengan mengutip laporan Transparency
Institute. Dalam laporan tersebut, di ungkapkan pengusaha dari Rusia, Cina,
Taiwan, dan Korea Selatan menduduki peringkat tertinggi dalam suap menyuap.
Amerika Serikat yang memilikiForeign
Corrupt Practice Act, yang melarang perusahaan-perusahaan Amerika
Serikat memberi suap, ternyata tidak bebas dari suap-menyuap. Ranking Amerika
Serikat dalam Bribe Payers Index tahun 2002 sejajar dengan Jepang, tetapi lebih
buruk dari negara-negara Prancis, Spanyol, Jerman, Singapura, dan Inggris.
Akibat dari kecenderungan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis
internasional tersebut maka sudah dipastikan kedaulatan negara dibidang ekonomi
dan politik menghilang. Sebagai konsekuensinya kekuasaan politik negara semakin
menurun dan kekuasaan ekonomi perusahaan multinasional semakin meningkat.
Bahkan sebagai dampak pasarisasi, banyak negara kehilangan kendali untuk
membuat undang-undang yang pro terhadap kepentingan rakyatnya sendiri demi
memuaskan kepentingan “pasukan kapitalis”.
Sehubungan dengan dampak globalisasi ekonomi pada negara,
setidaknya ada dua hipotesa yang dikemukakan, yaitu:
-
Hipotesis 1, yang disebut “Hipotesis Dramatis” oleh Kenichi Ohmae, ialah
globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan, dan
-
Hipotesis 2, yang disebut “Silent
Take-over and Death of Democracy” oleh
Noreena Hertz, ialah globalisasi ekonomi akan mengakibatkan matinya demokrasi.
Dari fakta yang terjadi saat ini nampaknya hipotesis 1 yang
mengatakan globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan tidaklah terjadi
karena tidak sesui dengan kenyataan. Namun yang lebih mendekati kenyataan
adalah hipotesis 2 yang dikembangkan Noreena Hertz. Dikaitkan dengan konteks
demokrasi dalam memilih pemimpin negara saat ini memang secara pemilihan mereka
dipilih oleh rakyat, tetapi para pemimpin tersebut sejatinya lebih sibuk
melayani para pelaku bisnis global. Dan lebih tragisnya dalam melayani pelaku
bisnis global tersebut para pemimpin harus bersaing, sebab calon investor hanya
akan memilih negara dan daerah yang mampu memberikan dan menyediakan
syarat-syarat yang paling menguntungkan (minimalis resiko). Oleh karena itu
pemimpin bukannya mengabdi kepada rakyat yang menjadi konstituennya dalam
pemilu, tetapi justru kepada para kapitalis global. Perilaku pemimpin elit dan
pejabat tak ubahnya sebagai makelar atau salesman (Deliarnov, 2010:209).
Mereka “menjajakan” negaranya dengan tawaran-tawaran yang
menggiurkan (dalam bentuk devisa bebas, pajak rendah, dan upah buruh termurah).
Dalam proses “menjajakan” negara praktek suap-menyuap sangat kental. Artinya
kebijakan negara disusun atas dasar perjanjian dengan kapitalis tertentu.
Perilaku pemimpin elit seperti inilah yang akhirnya menyebabkan demokrasi
menjadi mati.!
Globalisasi tidak hanya menentukan arah demokrasi, lebih jauh,
globalisasi bahkan juga mampu mendikte apa yang harus dilakukan oleh para
pemenang pemilu demokrasi. Siapa saja yang menjadi presiden dalam pemilihan
yang demokratis memang ditentukan oleh rakyat. Namun, siapa saja yang akan
duduk dalam kabinet dan apa yang kemudian dijalankan oleh kabinet tersebut
lebih ditentukan oleh konstituen pasar yang notebene tersebar di sejumlah
sentra finansial global. Sebagai contoh kasus rezim Soeharto pada tahun 1997
yang menghadapi tekanan pasar finansial oleh Amerika serikat melalui IMF dengan
mengutus Walter Mondale membujuk Soeharto untuk sepenuhnya melakukan
liberalisasi ekonomi melalui penandatanganan perjanjian LoI (Letters of Intent)
sesuai tuntutan IMF yang merujuk kepada consensuss of washington antara lain meliputi
pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi sektor
keuangan dan perdagangan, dan pelaksanaan privatisasi BUMN.
Sehubungan dengan kaitan antara globalisasi ekonomi dan
demokrasi ini, George Soros dalam The Crisis of Global Capitalism (1998). Menjelaskan bahwa ada
satu anggapan yang keliru namun telah diterima secara umum selama ini
bahwa demokrasi dan kapitalisme berjalan seiring sejalan. Dalam realitas,
hubungan antara demokrasi dengan kapitalisme tersebut sangat kompleks. Menurut
Soros, kapitalisme membutuhkan demokrasi sebagai pengimbang karena sistem
kapitalisme tidak memiliki kecenderungan untuk mencapai keseimbangan. yang
jelas, para pemilik kapital selalu berusaha memaksimumkan keuntungan mereka.
Bila upaya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tersebut dibiarkan
lepas tanpa kendali, tentulah mereka akan berupaya untuk mengakumulasikan modal
sampai pada suatu tingkatan ketidakseimbangan.
Dengan globalisasi, tidak ada sekat-sekat lagi bagi aliran
barang, jasa, modal dan juga tenaga kerja dari satu negara kenegara lain. Akan
tetapi, melihat berbagai kecenderungan yang ada, Thurow (2000) memperingatkan: “....
the world is going to have a global economy without global government. This
means a global economy with no enforceable, agreed-upon set of rules and regulations,
no sheriff to appeal to if one feels that justice is not being done...”. Apa artinya jika dunia memiliki
suatu perekonomian global tanpa pemerintahan global.? Arti berikut implikasinya
ialah akan ada suatu perekonomian global tanpa aturan dan hukum yang telah
disepakati bersama yang dapat ditegakkan. Selain itu juga tidak ada semacam
lembaga penegak hukum internasional yang dapat dimintai bantuannya apabila ada
pihak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil.
Menurut Stigliz (2001), yang ada justru sebuah sistem yang
disebutnya ‘global governance without global
government’. Dimana sejumlah intitusi internasional (IMF, Bank
Dunia, dan WTO) disertai sejumlah pemain (menteri keuangan, bisnis, dan
perdagangan) yang terkait erat dengan kepentingan finansial lebih mendominasi
keadaan. Sementara rakyat yang menerima dampak dari kebijakan-kebijakan
globalisasi itu sendiri tidak bisa bersuara lantang. Karena kenyataan
menunjukkan bahwa hasil yang diberikan oleh globalisasi jauh dari yang digembar-gemborkan,
Stigliz menyerukan bahwa sudah tiba saatnya untuk mengubah beberapa aturan tata
ekonomi internasional agar kepentingan negara-negara berkembang lebih
terwakili. (Sumber: Deliarnov, Ekonomi Politik 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar