Rabu, 27 Mei 2015

Dampak Integrasi Regional Terhadap Kedaulatan Negara
“Sebuah Tinjauan Perspektif Ekonomi Politik”
Studi Kasus Negara EU-APEC
Oleh Achmal Junmiadi, S.E
(Peneliti Muda CIDES Indonesia)
Konstelasi hubungan internasional telah berubah secara drastis (pasca perang dingin) dunia diwarnai oleh polarisasi yang telah mendorong kawasan dunia berkembang dan Dunia Maju mempertegas kembali keberadaannya. Kecenderungan itu bila dihadapkan dengan masalah tata ekonomi dunia, ternaya masih tetap tidak dijumpai keadilan. Masalah yang menyangkut utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, arus modal, seakan-akan tidak berubah sehingga perkembangan dibidang ini cenderung menunjukkan formatnya yang multipolar. Pusat-pusat kekuatan ekonomi baru. Bermunculan sementara beberapa blok-blok ekonomi semakin marak dengan cara mengkonsolidasikan dirinya.
Terutama Negara-negara dunia ketiga, yang mungkin terjadi seputar masalah yang berkaitan dengan posisinya dalam hubungan ini yakni terjadinya blok kekuatan ekonomi baru dalam bentuk regionalism baru pula. Persoalan ini terletak dalam pencaharian alternative ke dalam bentuk kerjasama ekonomi diantara Negara-negara anggota dan diantara mereka dengan negara-negera maju dilihat sebagai suatu langkah dengan formasi “berdiri kolektif”. Kerjasama ekonomi diantara mereka bagamanapun harus dieksploitasi sebagai suatu batu loncatan bagi pengintegrasian mereka kearah perekonomian global sesuai dengan prioritas dan kepentingan pembangunan masing-masing.
Munculnya suatu prioritas baru (peran dunia) dalam bentuk integrasi regional yang dijadikan sebagai dasar pada sebuah paradigma, dimana kepentingan kelompok menjadi yang utama atau dengan perkataan lain, paradigm kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional masing-masing. Paradigm atas kawasan/wilayah dunia saat ini yang akan mengarah kepada sifat pengelompokan diri ke dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global. Konstelasi kepentingan ekonomi ini tampaknya semakin mempertegas paradigm integrasi regional dalam aspek ekonomi-politik global dengan terbentuknya misalnya Masyarakat Ekonomi Eropa.
Masyarakat Ekonomi Eropa/Masyarakat Eropa yang melahirkan Pasar Tunggal Eropa, Amerika Serikat via North American Free Trade Agreement (NAFTA). Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Telah melahirkan scenario perekonomian global kedalam Tiga Kelompok Besar. Dan jika scenario ini lebih dipertajam, maka segera muncul format Dua Kelompok Besar: Eropa(European Union) dan Asia Pasifik (APEC) ke dalam tata hubungan perekonomian dunia.
Eropa Bersatu – Masyarakat Ekonomi Eropa-Pasar Tunggal Eropa-Kawasan perdagangan Bebas Eropa (EFTA), dijadikan sebagai antisipasi dan strategi Masyarakat Eropa terhadap perkembangan Internasional dan regional yang diciptakan sebagai upaya membentuk integrasi ekonomi yang diwujudkan kedalam bentuk kerjasama ekonomi global di atas tataran wilayah perdagangan bebas dan kuota perdagangan diantara mereka terhadap produk-produk impor negara anggotanya. Namun sekali lagi, dengan terbentuknya kelompok-kelompok ekonomi yang berimpilkasi internasional dan regional yang diciptakan sebagai upaya membentuk integrasi ekonomi yang diwujudkan ke dalam bentuk kerjasama ekonomi global di atas tataran wilayah perdagangan bebas dan kuota perdagangan diantara mereka terhadap produk-produk impor dari Negara-negara anggotanya. Namun sekali lagi, dengan terbentuknya kelompok-kelompok ekonomi yang berimplikasi internasional ini setidak-tidaknya bertujuan untuk memperkuat integrasi ataupun institusi yang dalam kerangka Uni Eropa atau apapun namanya itu. Kemunculan pengelompokan ini juga tampaknya bersifat “Spilover”. Artinya, kawasan ekonomi Eropa merupakan pasar terbesar di dunia yang menguasai sekitar 40% perdagangan dunia. Daya serap ini selanjutnya akan meluas ke beberapa negara Eropa Timur lainnya.

REGIONALISME EKONOMI-POLITIK
              
             Masyarakat Eropa (EC) dengan dibungkus oleh lebel proses intergrasinya itu, menempatkan posisi Negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik yang diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi kepada kita bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan mekanisme pengelompokkan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi masyarakat eropa untuk meningkatkan ambisi regionalism di benua Eropa yakni dengan usaha untuk menarik usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusa pertumbuhan dan perkembangan internasional berada di Eropa.
               Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989, merupakan terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping EFTA di kawasan Eropa. Ini juga dilihat sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama ekonomi regional dan pada gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama ekonomi internasional.
Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan internasional serta tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di dalam tatanan hubungan ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa kehadiran kelompok-kelompok kekuatan ekonomi baik itu Dalam tataran regional maupun internasional, misalnya APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan konflik yang sudah mengerah kepada perang dagang antara blok-blok dagang terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa).
Jika persoalan ini dilihat kedalam perspektif yang lebih luas, maka dapatlah dikatakan ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di atas tataran yang terancam menemui jalan buntu yang memang diperlukan suatu maneuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bill Clinton dan dengan mana pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang mendapat voting dari kongres 1992, disubstitusikan diselenggarakannya KTT (Konfrensi Tingkat Tinggi) APEC 1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau mengultimatum Eropa (membuat tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan persetujuan atas GATT (liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tariff produk manufacturing) yang sebagaian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat.
Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara konglomerat dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung di atas, maka dunia ini akan terbagi ke blok-blok ekonomi: European Unian, North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC). Dengan APEC, otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia Timur EAEC (22,6%) akan menguasai hampir 50% perdagangan global: sedangkan Uni Eropa hanya mampu memaksimal mencapai 27% jika hal ini ditambah dengan EFTA (Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia).

DAMPAK TERHADAP KEDAULATAN NEGARA
                
        Adalah sebuah konsekuensi dengan terbentuknya integrasi regional, maka sudah dapat dipastikan kedaulatan Negara yang menyertainya tidak lagi menjadi kekuatan utama secara kenegaraan yang terbentuk secara absolut, Negara tidak lagi hadir hanya sebatas menjadi pemain tunggal dalam kancah internasional. Sedikit banyak Kedaulatan Negara tersebut tentunya akan mengalami polarisasi terhadap kepentingan bersama di tingkat regional. Namun tidak serta merta menghilangkan esensi Negara sebagai lembaga yang memiliki kedaulatan terhadap rakyatnya. Justru peran Negara ditingkat regional harusnya memiliki peran yang signifikan dalam memperbesar peluang kesejahteraan terhadap internal rakyat yang ada didalamnya.
                Hal tersebut dikarenakan sebagai bagian anggota regional memiliki hak dan tanggung jawab yang sama-sama dibebankan demi tercapainya tujuan bersama Negara-negara yang ada dalam kesepakatan kawasan regional. Dengan semakin mudahnya akses pengembangan ekonomi dan jalur perdagangan yang dibuat diharapkan Negara-negara yang tadinya tertinggal atau berkembang dapat ditingkatkan menjadi bagian yang terintegrasi dengan Negara-negara yang sudah terlebih dahulu maju. Asalkan tidak adanya perbedaan dalam mendapatkan hak dan kewajiban yang sama-sama berada dikawasan regional yang dibentuk.
                Kedaulatan Negara merupakan salah satu kunci bagaimana Negara tersebut dapat diakui menjadi suatu Negara tanpa harus merasa lebih superior dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Prinsip kebebasan dalam berintegrasi regional jangan sampai dimaknai berhak untuk bisa mengintervensi dengan tanpa aturan yang saling melindungi satu sama lain. Karena asas integrasi yang dibentuk adalah kerjasama yang menguntukan semua pihak atau anggota negara yang tergabung didalamnya. Tentunya hal ini patut dicermati agar kemudian tidak ada kedaulatan Negara yang akhirnya dirugikan oleh Negara lainnya.
                Dampak integrasi regional dalam bidang ekonomi dan politik artinya memiliki konsekuensi dalam menciptakan kebijakan yang lebih mengedepankan diplomasi “win win solution” berdasarkan kepada kebutuhan yang saling melengkapi satu sama lain diantara Negara-negara yang tergabung di dalamnya. Baik dari segi perdagangan, keamanan, kebijakan, dan politik yang berada didalam kawasan. Dengan mengedepankan prinsip interdependensi yang saling menguatkan dan bukan untuk menjatuhkan melalui peraturan bersama yang disepakati ditingkat regional. Sehingga tidak timbulnya pola ketergantung yang disebut “Patron Client” antara Negara berkembang dengan Negara yang lebih dahulu maju.
                Prinsip persamaan dalam menyatakan hak dan kewajiban dalam integrasi regional tentunya bukan sebatas formalitas semu diantara Negara-negara yang tergabung didalamnya. Isu atau kepentingan yang dibahas bersama dalam bentuk kordinasi dan komunikasi diantara Negara-negara tersebut menjadi sumber kekuatan yang nantinya menjadi kebijakan untuk bisa lebih meningkatkan kerjasama demi mencapai keberlangsungan integrasi regional tanpa harus merusak kedaulatan Negara-negara yang berada didalamnya secara pemahaman kaidah hukum politik  dalam menghargai kebebasan dan perdamaian antar negara ditingkat internasional.
KESIMPULAN:
Dengan memusatkan perhatian pada konsep integrasi regional sebagaimana sebagaiannya diusahakn diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling memiliki ketergantungan antar Negara (interdepensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitkan dengan kecenderungan Negara-negara untuk mengelompokkan diri kedalam pola regional. Pola regionalisme didasarkan pada pengelompokkan pada kekuatan ekonomi (perdagangan) dan pada gilirannya akan terbentuk didalam perlembagaan regionalism. Hal ini tentunya akan sangat memiliki dampak yang signifikan terhadap kedaulatan Negara yang tergabung didalamnya tidak lagi hanya mewakili individu Negara yang ada tetapi juga menjadi memiliki kepentingan skup regional yang dibangun. Analisis yang dikembangkan pada kajian integrasi regionalism yakni dengan semakin maraknya pengelompokan kekuatan berdasarakna aspek ekonomi dan politik menjadikan semakin bertambanya pula informasi dalam kaitannya dengan fenomena tersebut. Analisa dengan merujuk pada hal ini memperlihatkan bahwa pembuatan kebijakan suatu Negara akan memiliki korelasi terhadap Negara yang berada didalam kawasan regionalnya dengan istilah “issue area” yang menjadi kesepakatan regional. Dengan munculnya istilah tersebut sebagai instrument analisis (analysis tools). Di sini di coba untuk memperlihakan beberapa aspek yang terdapat dalam Negara-negara sebagai faktor yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional.
Integrasi yang terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu “issue are” berupa kekuatan yang terdapat dalam Negara-negara Benelux (Belgia, Nederland, dan Luxemburg). Maka hal yang perlu diperhatikan adalah “progress in policy integration” yang dihadapkan dengan perbedaan atas “Issue-area” tadi. Misalkan dalam suatu Negara menyatakan bahwa issue areanya mungkin sektor pertanian dan yang selanjutnya sektor industry atau transportasi. Dari dua sektor tersebut inilah yang dijadikan sebagai “leading sector” bagi kebijakan politik luar negerinya. Negara yang satu melihat bahwa sektor pertanian menjadi kepentingan utama dan bagi Negara yang lain melihat sektor industri transportasi menjadi kepentingan pokok.
Maka dengan demikian analisa tentang Dampak Integrasi Regional terhadap Kedaulatan Negara dalam wacana tinjauan perspektif Ekonomi-Politik. Semakin menunjukkan pola interdependsi yang kuat satu sama lain sebagai acuan penjelasan bagaiamana integrasi regional berproses menuju kekuatan internasional yang lebih dominan.
  
DAFTAR BACAAN
KEOHANE, Robert.O and Joseph S.Nye, Jr.,"International Interdependence and Integration", Fred I.'Greenstein (ed),International P0litics Handbook of
Political Science, Vol. 8, (California: Addisofi-Wesley Publishing Company, 1975).
AKE, Claude.A.,A Theory.of Political Integration, Dorsey : Homewood. 1967).
LINDBERG, Leon.N and Stuart A.Scheigold. (ed),Regjonal Integration: Theory and
Research. (Cambridge. Mass : Harvard University Press.1971).
ALLISON. Graham.T. .Essence of Decisions EX-plaining the Cuban Missile Crisis. (Boston: Little Brown, 1971).
BROWN. Lester.R.. The Interdependence of Nation"s. (New York: Foreign Policy Association. Headline Series, 1972).
BURTON. John .W.. System States, Diplomacy and Rules, (Cambridge: Cambridge University Press. 1968).
CLAUDE. Inis.L.,Power and International Relations, (New York: Random House. 1962).
BENNETT, Bruce. M., International Regionalism and The Internationa System : A Study in Political Ecology, (Chicago : Rand McNally, 1967).

YOUNG, Oran. R., “Interdependence in World Politics” dalam Internatioanl Journal, No.24, (1963).

Bismillah

This ismy blog

Selasa, 26 Mei 2015

Dampak Globalisasi Ekonomi pada Demokrasi Negara

Dampak Globalisasi Ekonomi pada Demokrasi Negara

(Studi Kritis Ekonomi Politik)

Oleh : Akmal Junmiadi, SE
(Peneliti Muda CIDES Indonesia, Alumni S1 Manajemen Fakultas Ekonomi UNJ 2008, Konsentrasi: International Marketing Management).

Saat ini globalisasi telah menjadi wacana sekaligus fakta yang tidak lagi dapat terbendung. Hampir diseluruh bangsa dan negara didunia telah menyadari efek dari globalisasi yang telah banyak membawa perubahan. Khususnya perubahan ekonomi dan politik dalam pemerintahan di negara-negara tersebut. Dengan ditandainya perdagangan bebas antar negara dan hilangnya sekat-sekat kenegaraan maka suatu negara dibelahan bumi manapun akan mengakui perubahan pembangunan negaranya akan memiliki kaitan erat dengan kondisi pembangunan di negara lainnya.

Namun dibalik itu semua, ternyata globalisasi juga memiliki agenda ekonomi politik yang juga membahayakan kesejahteraan dan eksistensi negara itu sendiri. Setidaknya dengan perubahan yang dibawa oleh globalisasi khususnya dibidang ekonomi dan pembangunan negara telah memiliki paradigma yang bergeser dari peran pemerintah menjadi kearah pasar. Hal ini telah dikemukakan oleh para ekonom dunia yang mengkritik globalisasi ekonomi pada negara.

Perubahan dari paradigma pembangunan yang didorong oleh pemerintah (government led) menjadi pembangunan yang didorong oleh pasar (market lead) menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari negara ke perusahaan multinasional (Multinational Corporation), dan dari sistem politik ke sistem ekonomi (Spillane, 2003:178). Akibatnya, kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi yang bersifat antar negara (Intergovernmental)diambil alih oleh negara-negara industri maju dan oleh institusi-institusi yang mereka kontrol.

Tiga oligarki  globalisasi adalah IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), dan WTO (World Trade Organization). Ketiga institusi ini berperan penting dalam membentuk sistem ekonomi internasional yang menyokong globalisasi pasar terbuka (free market). Dalam hal ini perlu dicermati bahwa di belakang tiap keputusan IMF, Bank Dunia, dan WTO ada “Pasukan kapitalis” berbentuk multinational corporation (MNCs) yang siap mengambil keuntungan. Jika perlu, negara juga ikut membantu dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan multinasional dari negera masing-masing. Sebagaimana yang ditulis Edward Luttwak dalam Turbo Capitalism (1997). “Pada 20-30 tahun yang lalu negara terlibat dalam geo-politics, sekarang geo-economics, dimana negara terlibat dalam perang bisnis dengan mengerahkan “pasukan” mereka yang terdiri dari pelaku bisnis internasional.

Pelaku bisnis internasional yang menjadi “pasukan kapitalis” dalam melakukan operasi bisnisnya seringkali melakukan praktek suap-menyuap terhadap para elit atau pejabat pemerintahan di negara yang menjadi target pasar mereka. Agar kemudian mereka dapat dengan mudah melakukan kepentingannya untuk menguasai perekonomian vital (konstruksi umum, pertahanan, migas, real estate, tambang, public service, dll) walaupun harus merugikan negara-negara yang menjadi objek market khususnya negara-negara berkembang. Pada pertengahan tahun 2002, majalah Gatra (9 Juni 2002) dan Newsweek(1 Juli 2002) dalam waktu bersamaan menurunkan laporan panjang tentang praktik suap-menyuap oleh pelaku bisnis internasional dengan mengutip laporan Transparency Institute. Dalam laporan tersebut, di ungkapkan pengusaha dari Rusia, Cina, Taiwan, dan Korea Selatan menduduki peringkat tertinggi dalam suap menyuap. Amerika Serikat yang memilikiForeign Corrupt Practice Act, yang melarang perusahaan-perusahaan Amerika Serikat memberi suap, ternyata tidak bebas dari suap-menyuap. Ranking Amerika Serikat dalam Bribe Payers Index tahun 2002 sejajar dengan Jepang, tetapi lebih buruk dari negara-negara Prancis, Spanyol, Jerman, Singapura, dan Inggris.

Akibat dari kecenderungan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis internasional tersebut maka sudah dipastikan kedaulatan negara dibidang ekonomi dan politik menghilang. Sebagai konsekuensinya kekuasaan politik negara semakin menurun dan kekuasaan ekonomi perusahaan multinasional semakin meningkat. Bahkan sebagai dampak pasarisasi, banyak negara kehilangan kendali untuk membuat undang-undang yang pro terhadap kepentingan rakyatnya sendiri demi memuaskan kepentingan “pasukan kapitalis”.

Sehubungan dengan dampak globalisasi ekonomi pada negara, setidaknya ada dua hipotesa yang dikemukakan, yaitu:
-          Hipotesis 1, yang disebut “Hipotesis Dramatis” oleh Kenichi Ohmae, ialah globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan, dan
-          Hipotesis 2, yang disebut “Silent Take-over and Death of Democracy” oleh Noreena Hertz, ialah globalisasi ekonomi akan mengakibatkan matinya demokrasi.

Dari fakta yang terjadi saat ini nampaknya hipotesis 1 yang mengatakan globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan tidaklah terjadi karena tidak sesui dengan kenyataan. Namun yang lebih mendekati kenyataan adalah hipotesis 2 yang dikembangkan Noreena Hertz. Dikaitkan dengan konteks demokrasi dalam memilih pemimpin negara saat ini memang secara pemilihan mereka dipilih oleh rakyat, tetapi para pemimpin tersebut sejatinya lebih sibuk melayani para pelaku bisnis global. Dan lebih tragisnya dalam melayani pelaku bisnis global tersebut para pemimpin harus bersaing, sebab calon investor hanya akan memilih negara dan daerah yang mampu memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan (minimalis resiko). Oleh karena itu pemimpin bukannya mengabdi kepada rakyat yang menjadi konstituennya dalam pemilu, tetapi justru kepada para kapitalis global. Perilaku pemimpin elit dan pejabat tak ubahnya sebagai makelar  atau salesman (Deliarnov, 2010:209).

Mereka “menjajakan” negaranya dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan (dalam bentuk devisa bebas, pajak rendah, dan upah buruh termurah). Dalam proses “menjajakan” negara praktek suap-menyuap sangat kental. Artinya kebijakan negara disusun atas dasar perjanjian dengan kapitalis tertentu. Perilaku pemimpin elit seperti inilah yang akhirnya menyebabkan demokrasi menjadi mati.!

Globalisasi tidak hanya menentukan arah demokrasi, lebih jauh, globalisasi bahkan juga mampu mendikte apa yang harus dilakukan oleh para pemenang pemilu demokrasi. Siapa saja yang menjadi presiden dalam pemilihan yang demokratis memang ditentukan oleh rakyat. Namun, siapa saja yang akan duduk dalam kabinet dan apa yang kemudian dijalankan oleh kabinet tersebut lebih ditentukan oleh konstituen pasar yang notebene tersebar di sejumlah sentra finansial global. Sebagai contoh kasus rezim Soeharto pada tahun 1997 yang menghadapi tekanan pasar finansial oleh Amerika serikat melalui IMF dengan mengutus Walter Mondale membujuk Soeharto untuk sepenuhnya melakukan liberalisasi ekonomi melalui penandatanganan perjanjian LoI (Letters of Intent) sesuai tuntutan IMF yang merujuk kepada consensuss of washington antara lain meliputi pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, dan pelaksanaan privatisasi BUMN.

Sehubungan dengan kaitan antara globalisasi ekonomi dan demokrasi ini, George Soros dalam The Crisis of Global Capitalism (1998). Menjelaskan bahwa ada satu anggapan yang keliru namun telah diterima secara  umum selama ini bahwa demokrasi dan kapitalisme berjalan seiring sejalan. Dalam realitas, hubungan antara demokrasi dengan kapitalisme tersebut sangat kompleks. Menurut Soros, kapitalisme membutuhkan demokrasi sebagai pengimbang karena sistem kapitalisme tidak memiliki kecenderungan untuk mencapai keseimbangan. yang jelas, para pemilik kapital selalu berusaha memaksimumkan keuntungan mereka. Bila upaya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tersebut dibiarkan lepas tanpa kendali, tentulah mereka akan berupaya untuk mengakumulasikan modal sampai pada suatu tingkatan ketidakseimbangan.

Dengan globalisasi, tidak ada sekat-sekat lagi bagi aliran barang, jasa, modal dan juga tenaga kerja dari satu negara kenegara lain. Akan tetapi, melihat berbagai kecenderungan yang ada, Thurow (2000) memperingatkan: “.... the world is going to have a global economy without global government. This means a global economy with no enforceable, agreed-upon set of rules and regulations, no sheriff to appeal to if one feels that justice is not being done...”. Apa artinya jika dunia memiliki suatu perekonomian global tanpa pemerintahan global.? Arti berikut implikasinya ialah akan ada suatu perekonomian global tanpa aturan dan hukum yang telah disepakati bersama yang dapat ditegakkan. Selain itu juga tidak ada semacam lembaga penegak hukum internasional yang dapat dimintai bantuannya apabila ada pihak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil.


Menurut Stigliz (2001), yang ada justru sebuah sistem yang disebutnya ‘global governance without global government’. Dimana sejumlah intitusi internasional (IMF, Bank Dunia, dan WTO) disertai sejumlah pemain (menteri keuangan, bisnis, dan perdagangan) yang terkait erat dengan kepentingan finansial lebih mendominasi keadaan. Sementara rakyat yang menerima dampak dari kebijakan-kebijakan globalisasi itu sendiri tidak bisa bersuara lantang. Karena kenyataan menunjukkan bahwa hasil yang diberikan oleh globalisasi jauh dari yang digembar-gemborkan, Stigliz menyerukan bahwa sudah tiba saatnya untuk mengubah beberapa aturan tata ekonomi internasional agar kepentingan negara-negara berkembang lebih terwakili. (Sumber: Deliarnov, Ekonomi Politik 2010)